Selasa, 20 Maret 2012

 
 

oleh Abdullah Hasan Alhadar
DAFTAR ISI

 
 

 

 
kompilasi CHM : www.pakdenono.com - juli 2008 -
blog: http://ebook-harunyahya.blogspot.com
sumber: pustaka online MEDIAISNET

Senin, 05 Maret 2012

Peranan Wahyu dan Akal dalam Kehidupan

Makhluk ciptaan Allah SWT di alam syahadah ini, seperti apa yang dapat kita amati, dapat digolongkan dalam jenis-jenis: batu-batuan/mineral, tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia. Allah SWT sebagai ArRabb mengatur alam syahadah dengan hukum-hukumNya untuk mengendalikan berjenis-jenis ciptaanNya itu. Allah sebagai ArRabb (Maha Pengatur) mengendalikan alam semesta dengan hukum-hukumNya yang hingga kini baru dikenal oleh manusia sebagai: medan gravitasi, medan elektromagnet, gaya kuat dan gaya lemah.  

Medan gravitasi utamanya mengontrol makrokosmos, mengendalikan bintang-bintang. Ketiga jenis yang lain mengontrol mikrokosmos. Medan elektromagnet mengontrol pasangan proton (bermuatan +) dengan elektron (bermuatan -). Proton-proton dalam inti atom yang saling tolak karena bermuatan sama, "direkat" oleh gaya kuat. Sedangkan gaya lemah menyebabkan inti atom seperti misalnya Thorium dan Uranium tidak stabil menjadi "lapuk" terbelah dengan mengeluarkan sinar radioaktif, sehingga Thorium dan Uranium disebut pula zat radioaktif. 
Di samping ke-4 jenis itu hukum Allah mengendalikan pula tumbuh-tumbuhan dengan kekuatan bertumbuh dan berkembang biak; kekuatan bertumbuh itu dapat melawan kekuatan gravitasi yaitu bertumbuh ke atas melawan tarikan gravitasi ke bawah. Adapun pada binatang ditambah pula lagi dengan kekuatan naluri dengan perlengkapan pancaindera. Dengan kekuatan naluri dan perlengkapan pancaindera itu binatang dapat bergerak ke mana saja menurut kemauannya atas dorongan nalurinya. 
*** 
Allah meniupkan ruh ke dalam diri manusia, yang tidak diberikanNya kepada makhluq bumi yang lain. Karena manusia mempunyai ruh, ia mempunyai kekuatan ruhaniyah yaitu akal. Dengan akal itu manusia mempunyai kesadaran akan wujud dirinya. Dengan otak sebagai mekanisme, akal manusia dapat berpikir dan dengan qalbu (hati nurani) sebagai mekanisme akal manusia dapat merasa. Allah menciptakan manusia dalam keadaan, "fiy ahsani taqwiym" (95:4), sebaik-baik kejadian. 
Kemampuan akal untuk berpikir dan merasa bertumbuh sesuai dengan pertumbuhan diri manusia. Agar manusia dapat mempergunakan akalnya untuk berpikir dan merasa, ia perlu mendapatkan informasi dan pengalaman hidup. Mutu hasil pemikiran dan renungan akal tergantung pada jumlah, mutu dan jenis informasi yang didapatkannya dan dialaminya. Ilmu eksakta, non-eksakta, ilmu filsafat adalah hasil olah akal dengan mekanisme otak. Kesenian dan ilmu tasawuf adalah hasil olah akal dengan qalbu sebagai mekanisme. 
Hasil pemikiran dan renungan anak tammatan SMA lebih bermutu ketimbang hasil pemikiran anak tammatan SD, karena anak tammatan SMA lebih besar jumlah, lebih bermutu dan lebih beragam jenis informasi yang diperolehnya dan pengalaman yang dialaminya. Jadi kemampuan akal manusia itu relatif sifatnya, baik dalam hal evolusi pertumbuhan mekanisme otak dan qalbunya, maupun dalam hal jumlah, mutu dan ragam informasi yang diperolehnya dan dialaminya. Dengan demikian akan relatif juga, baik untuk memikirkan pemecahan masalah, maupun untuk merenung baik buruknya sesuatu. 
Oleh karena akal manusia itu terbatas, Allah Yang Maha Pengatur (ArRabb) memberikan pula sumber informasi berupa wahyu yang diturunkan kepada para Rasul yang kemudian disebar luaskan kepada manusia. Nabi Muhammad RasuluLlah SAW adalah nabi dan rasul yang terakhir. Setelah beliau, Allah tidak lagi menurunkan wahyu. Dalam shalat kita minta kepada Allah: Ihdina shShira-tha lMustqiym (1:6), tuntunlah kami ke jalan yang lurus. Maka Allah menjawab: Alif, Lam, Mim. Dza-lika lKita-bu la- Rayba fiyhi Hudan lilMuttaqiyn (s. alBaqarah, 1-2), inilah kitab tak ada keraguan dalamnya penuntun bagi Muttaqiyn (s. Sapi betina, 2:1-2). Al Quran yang tak ada keraguan dalamnya memberikan informasi kepada manusia tentang perkara-perkara yang manusia tidak sanggup mendapatkannya sendiri dengan kekuatan akalnya: 'Allama lInsa-na Ma-lam Ya'lam (s. al'Alaq, 5), (Allah) mengajar manusia apa yang tidak diketahuinya. 
Kebenaran mutlak (Al Haqq) tidak mungkin dapat dicapai oleh manusia dengan kekuatan akalnya. Kebenaran mutlak tidak mungkin diperoleh dengan upaya pemikiran mekanisme otak yang berwujud filsafat. Juga kebenaran mutlak tidak dapat dicapai manusia dengan upaya renungan mekanisme qalbu dalam wujud tasawuf. Al Haqq tidak dapat dicapai melalui filsafat ataupun tasawuf. Al Haqqu min rabbikum (s. alKahf, 29), artinya Al Haqq itu dari Rabb kamu (s. Gua 18:29). Alam ghaib juga tidak mungkin diketahui manusia dengan kekuatan akalnya. Filsafat dan tasawuf tidak mungkin dapat menyentuh alam ghaib. 
Demikianlah tolok ukur produk pemikiran dan renungan yang berupa filsafat dan tasawuf itu adalah: "Dza-lika lKita-bu la- Rayba fiyhi Hudan lilMuttaqiyn". Filsafat dan tasawuf harus dibingkai oleh Al Quran dan Hadits shahih, sebab kalau tidak demikian, maka filsafat dan tasawuf itu menjadi liar. Sungguh-sungguh suatu keniscayaan, para penganut dan pengamal filsafat dan tasawuf tanpa kendali itu menjadi sesat. Terjadilah fenomena yang naif, lucu, tetapi mengibakan, yaitu antara lain filosof itu berimajinasi tentang pantheisme, sufi itu ber"kasyaf" terbuka hijab, merasa bersatu dengan Allah. Adapun indikator penganut dan pengamal filsafat dan tasawuf tanpa kendali itu, adalah upaya yang sia-sia untuk mempersatukan segala agama. Inilah yang selalu kita mohonkan kepada Allah SAW setiap shalat, agar tidak terperosok ke dalam golongan "Dha-lluwn", kaum sesat. 
Hudan lilMuttaqiyn", demikianlah wahyu itu menuntun akal para Muttaqiyn untuk berolah akal, yaitu berpikir/berfilsafat dan merasa/bertasawuf. Akal harus ditempatkan di bawah wahyu dan ilmu filsafat serta ilmu tasawuf harus ditempatkan di bawah iman, singkatnya wahyu di atas akal dan iman di atas ilmu. WaLlahu a'lamu bishshawab. 
*** Makassar, 20 Oktober 1991 [H.Muh.Nur Abdurrahman] 

Rabu, 15 Februari 2012

PERNIKAHAN NABI DENGAN AISYAH

Assalamu'alaykum Wr. Wb.



Mitos Kuno Tentang Usia Pernikahan Siti Aisyah RA

Seorang teman kristen suatu kali bertanya kepada saya, "Akankah anda menikahkan saudara perempuanmu yang berumur 7 tahun dengan seorang tua berumur 50 tahun?" Saya terdiam.

Dia melanjutkan, "Jika anda tidak akan melakukannya, bagaimana bisa anda menyetujui pernikahan gadis polos berumur 7 tahun, Aisyah, dengan Nabi anda?" Saya katakan padanya, "Saya tidak punya jawaban untuk pertanyaan anda pada saat ini." Teman saya tersenyum dan meninggalkan saya dengan guncangan dalam batin saya akan agama saya.

Kebanyakan muslim menjawab bahwa pernikahan seperti itu diterima masyarakat pada saat itu. Jika tidak, orang-orang akan merasa keberatan dengan pernikahan Nabi saw dengan Aisyah.

Bagaimanapun, penjelasan seperti ini akan mudah menipu bagi orang-orang yang naif dalam mempercayainya. Tetapi, saya tidak cukup puas dengan penjelasan seperti itu.

Nabi merupakan manusia tauladan, Semua tindakannya paling patut dicontoh sehingga kita, Muslim dapat meneladaninya. Bagaimaanpun, kebanyakan orang di Islamic Center of Toledo, termasuk saya, Tidak akan berpikir untuk menunangkan saudara perempuan kita yang berumur 7 tahun dengan seorang laki-laki berumur 50 tahun. Jika orang tua setuju dengan pernikahan seperti itu, kebanyakan orang, walaupun tidak semuanya, akan memandang rendah terhadap orang tua dan suami tua tersebut.

Tahun 1923, pencatat pernikahan di Mesir diberi intruksi untuk menolak pendaftaran dan menolak mengeluarkan surat nikah bagi calon suami berumur di bawah 18 tahun, dan calon isteri dibawah 16 tahun. Tahun 1931, Sidang dalam oraganisasi-oraganisi hukum dan syariah menetapkan untuk tidak merespon pernikahan bagi pasangan dengan umur diatas (Women in Muslim Family Law, John Esposito, 1982). Ini memperlihatkan bahwa walaupun di negara Mesir yang mayoritas Muslim pernikahan usia anak-anak adalah tidak dapat diterima.

Jadi, Saya percaya, tanpa bukti yang solidpun selain perhormatan saya terhadap Nabi, bahwa cerita pernikahan gadis brumur 7 tahun dengan Nabi berumur 50 tahun adalah mitos semata. Bagaimanapun perjalanan panjang saya dalam menyelelidiki kebenaran atas hal ini membuktikan intuisi saya benar adanya.

Nabi memang seorang yang gentleman. Dan dia tidak menikahi gadis polos berumur 7 atau 9 tahun. Umur Aisyah telah dicatat secara salah dalam literatur hadist. Lebih jauh, Saya pikir bahwa cerita yang menyebutkan hal ini sangatlah tidak bisa dipercaya.

Beberapa hadist (tradisi Nabi) yang menceritakan mengenai umur Aisyah pada saat pernikahannya dengan Nabi, hadist-hadist tersebut sangat bermasalah. Saya akan menyajikan beberapa bukti melawan khayalan yang diceritakan Hisham ibnu `Urwah dan untuk membersihkan nama Nabi dari sebutan seorang tua yang tidak bertanggung jawab yang menikahi gadis polos berumur 7 tahun.

Bukti #1: Pengujian Terhadap Sumber

Sebagian besar riwayat yang menceritakan hal ini yang tercetak di hadist yang semuanya diriwayatkan hanya oleh Hisham ibn `Urwah, yang mencatat atas otoritas dari bapaknya, yang mana seharusnya minimal 2 atau 3 orang harus mencatat hadist serupa juga. Adalah aneh bahwa tak ada seorangpun yang di Medinah, dimana Hisham ibn `Urwah tinggal, sampai usia 71 tahun baru menceritakan hal ini, disamping kenyataan adanya banyak murid-murid di Medinah termasuk yang kesohor Malik ibn Anas, tidak menceritakan hal ini.
Asal dari riwayat ini adalah dari orang-orang Iraq, di mana Hisham tinggal disana dan pindah dari Medinah ke Iraq pada usia tua.

Tehzibu'l-Tehzib, salah satu buku yang cukup terkenal yang berisi catatan para periwayat hadist, menurut Yaqub ibn Shaibah mencatat : " Hisham sangatbisa dipercaya, riwayatnya dapat diterima, kecuali apa-apa yang dia ceritakan setelah pindah ke Iraq " (Tehzi'bu'l-tehzi'b, Ibn Hajar Al-`asqala'ni, Dar Ihya al-turath al-Islami, 15th century. Vol 11, p.50).

Dalam pernyataan lebih lanjut bahwa Malik ibn Anas menolak riwayat Hisham yang dicatat dari orang-orang Iraq: " Saya pernah diberi tahu bahwa Malik menolak riwayat Hisham yang dicatat dari orang-orang Iraq" (Tehzi'b u'l-tehzi'b, IbnHajar Al- `asqala'ni, Dar Ihya al-turath al-Islami, Vol.11, p. 50).

Mizanu'l-ai`tidal, buku lain yang berisi uraian riwayat hidup pada periwayat hadist Nabi saw mencatat: "Ketika masa tua, ingatan Hisham mengalami kemunduran yang mencolok" (Mizanu'l-ai`tidal, Al-Zahbi, Al-Maktabatu'l-athriyyah, Sheikhupura, Pakistan, Vol. 4, p. 301).

KESIMPULAN:
berdasarkan referensi ini, Ingatan Hisham sangatlah buruk dan
riwayatnya setelah pindah ke Iraq sangat tidak bisa dipercaya, sehingga riwayatnya mengenai umur pernikahan Aisyah adalah tidak kredibel.

KRONOLOGI: Adalah vital untuk mencatat dan mengingat tanggal penting dalam sejarah Islam:

Pra-610 M: Jahiliyah (pra-Islamic era) sebelum turun wahyu
610 M: turun wahyu pertama Abu Bakr menerima Islam
613 M: Nabi Muhammad mulai mengajar ke Masyarakat
615 M: Hijrah ke Abyssinia.
616 M: Umar bin al Khattab menerima Islam.
620 M: dikatakan Nabi meminang Aisyah
622 M: Hijrah ke Yathrib, kemudian dinamai Medina
623/624 M: dikatakan Nabi saw berumah tangga dengan Aisyah

Bukti #2: Meminang

Menurut Tabari (juga menurut Hisham ibn `Urwah, Ibn Hunbal and Ibn Sad), Aisyah dipinang pada usia 7 tahun dan mulai berumah tangga pada usia 9 tahun.

Tetapi, di bagian lain, Al-Tabari mengatakan: "Semua anak Abu Bakr (4 orang) dilahirkan pada masa jahiliyahh dari 2 isterinya " (Tarikhu'l-umam wa'l-mamlu'k, Al-Tabari (died 922), Vol. 4,p. 50, Arabic, Dara'l-fikr, Beirut, 1979).

Jika Aisyah dipinang 620M (Aisyah umur 7 tahun) dan berumah tangga tahun 623/624 M (usia 9 tahun), ini mengindikasikan bahwa Aisyah dilahirkan pada 613 M. Sehingga berdasarkan tulisan Al- Tabari, Aisyah seharusnya dilahirkan pada 613M, Yaitu 3 tahun sesudah masa Jahiliyahh usai (610 M).

Tabari juga menyatakan bahwa Aisyah dilahirkan pada saat Jahiliyah. Jika Aisyah dilahirkan pada era Jahiliyah, seharusnya minimal Aisyah berumur 14 tahun ketika dinikah. Tetapi intinya Tabari mengalami kontradiksi dalam periwayatannya.

KESIMPULAN: Al-Tabari tak reliable mengenai umur Aisyah ketika menikah.

Bukti # 3: Umur Aisyah jika dihubungkan dengan umur Fatimah

Menurut Ibn Hajar, "Fatima dilahirkan ketika Ka`bah dibangun kembali, ketika Nabi saw berusia 35 tahun... Fatimah 5 tahun lebih tua dari Aisyah" (Al-isabah fi tamyizi'l-sahabah, Ibn Hajar al-Asqalani, Vol. 4, p. 377, Maktabatu'l-Riyadh al-haditha, al-Riyadh,1978).

Jika Statement Ibn Hajar adalah factual, berarti Aisyah dilahirkan ketika Nabi berusia 40 tahun. Jika Aisyah dinikahi Nabi pada saat usia Nabi 52 tahun, maka usia Aisyah ketika menikah adalah 12 tahun.

KESIMPULAN: Ibn Hajar, Tabari, Ibn Hisham, dan Ibn Humbal kontradiksi satu sama lain. Tetapi tampak nyata bahwa riwayat Aisyah menikah usia 7 tahun adalah mitos tak berdasar.

Bukti #4: Umur Aisyah dihitung dari umur Asma'

Menurut Abda'l-Rahman ibn abi zanna'd: "Asma lebih tua 10 tahun dibanding Aisyah (Siyar A`la'ma'l-nubala', Al-Zahabi, Vol. 2, p. 289, Arabic, Mu'assasatu'l-risalah, Beirut, 1992).

Menurut Ibn Kathir: "Asma lebih tua 10 tahun dari adiknya [Aisyah]"
(Al-Bidayah wa'l-nihayah, Ibn Kathir, Vol. 8, p. 371,Dar al-fikr al-`arabi, Al-jizah, 1933).

Menurut Ibn Kathir: "Asma melihat pembunuhan anaknya pada tahun 73 H, dan 5 hari kemudian Asma meninggal. Menurut iwayat lainya, dia meninggal 10 atau 20 hari kemudian, atau beberapa hari lebih dari 20 hari, atau 100 hari kemudian. Riwayat yang paling kuat adalah 100 hari kemudian. Pada waktu Asma Meninggal, dia berusia 100 tahun" (Al-Bidayah wa'l-nihayah, Ibn Kathir, Vol. 8, p. 372, Dar al-fikr al-`arabi, Al- jizah, 1933)

Menurut Ibn Hajar Al-Asqalani: "Asma hidup sampai 100 tahun dan meninggal pada 73 or 74 H." (Taqribu'l-tehzib, Ibn Hajar Al-Asqalani,p. 654, Arabic, Bab fi'l-nisa', al-harfu'l-alif, Lucknow).

Menurut sebagaian besar ahli sejarah, Asma, Saudara tertua dari Aisyah berselisih usia 10 tahun. Jika Asma wafat pada usia 100 tahun dia tahun 73 H, Asma seharusnya berusia 27 atau 28 tahun ketika hijrah 622M).

Jika Asma berusia 27 atau 28 tahun ketika hijrah (ketika Aisyah berumah tangga), Aisyah seharusnya berusia 17 atau 18 tahun. Jadi, Aisyah, berusia 17 atau 18 tahun ketika hijrah pada taun dimana Aisyah berumah tangga.

Berdasarkan Hajar, Ibn Katir, and Abda'l-Rahman ibn abi zanna'd, usia Aisyah ketika beliau berumah tangga dengan Rasulullah adalah 19 atau 20 tahun.

Dalam bukti # 3, Ibn Hajar memperkirakan usia Aisyah 12 tahun dan dalam bukti #4 Ibn Hajar mengkontradiksi dirinya sendiri dengan pernyataannya usia Aisyah 17 atau 18 tahun. Jadi mana usia yang benar ? 12 atau 18..?

KESIMPULAN: Ibn Hajar tidak valid dalam periwayatan usia Aisyah.

Bukti #5: Perang BADAR dan UHUD

Sebuah riwayat mengenai partisipasi Aisyah dalam perang Badr dijabarkan dalam hadist Muslim, (Kitabu'l-jihad wa'l-siyar, Bab karahiyati'l-isti`anah fi'l-ghazwi bikafir). Aisyah, ketika menceritakan salah satu moment penting dalam perjalanan selama perang Badar, mengatakan: "ketika kita mencapai Shajarah". Dari pernyataan ini tampak jelas, Aisyah merupakan anggota perjalanan menuju Badar.

Sebuah riwayat mengenai pastisipasi Aisyah dalam Uhud tercatat dalam Bukhari (Kitabu'l-jihad wa'l-siyar, Bab Ghazwi'l-nisa' wa qitalihinnama`a'lrijal): "Anas mencatat bahwa pada hari Uhud, Orang-orang tidak dapat berdiri dekat Rasulullah. [pada hari itu,] Saya melihat Aisyah dan Umm-i-Sulaim dari jauh, Mereka menyingsingkan sedikit pakaian-nya [untuk mencegah halangan gerak dalam perjalanan tsb]."

Lagi-lagi, hal ini menunjukkan bahwa Aisyah ikut berada dalam perang Uhud dan Badr.

Diriwayatkan oleh Bukhari (Kitabu'l-maghazi, Bab Ghazwati'l-khandaq wa hiya'l-ahza'b): "Ibn `Umar menyatakan bahwa Rasulullah tidak mengijinkan dirinya berpastisispasi dalam Uhud, pada ketika itu, Ibnu Umar berusia 14 tahun. Tetapi ketika perang Khandaq, ketika berusia 15 tahun, Nabi mengijinkan Ibnu Umar ikut dalam perang tsb."

Berdasarkan riwayat diatas, (a) anak-anak berusia dibawah 15 tahun akan dipulangkan dan tidak diperbolehkan ikut dalam perang, dan (b) Aisyahikut dalam perang badar dan Uhud

KESIMPULAN: Aisyah ikut dalam perang Badar dan Uhud jelas mengindikasikan bahwa beliau tidak berusia 9 tahun ketika itu, tetapi minimal berusia 15 tahun. Disamping itu, wanita-wanita yang ikut menemani para pria dalam perang sudah seharusnya berfungsi untuk membantu, bukan untuk menambah beban bagi mereka. Ini merupakan bukti lain dari kontradiksi usia pernikahan Aisyah.

BUKTI #6: Surat al-Qamar (Bulan)

Menurut beberapa riwayat, Aisyah dilahirkan pada tahun ke delapan sebelum hijriyah. Tetapi menurut sumber lain dalam Bukhari, Aisyah tercatat mengatakan hal ini: "Saya seorang gadis muda(jariyah dalam bahasa arab)" ketika Surah Al-Qamar diturunkan(Sahih Bukhari, Kitabu'l-tafsir, Bab Qaulihi Bal al-sa`atu Maw`iduhum wa'l-sa`atu adha' wa amarr).

Surat 54 dari Quran diturunkan pada tahun ke delapan sebelum hijriyah(The Bounteous Koran, M.M. Khatib, 1985), menunjukkan bahwa surat tsb diturunkan pada tahun 614 M. jika Aisyah memulai berumahtangga dengan Rasulullah pada usia 9 di tahun 623 M or 624 M, Aisyah masih bayi yang baru lahir (sibyah in Arabic) pada saat Surah Al-Qamar diturunkan. Menurut riwayat diatas, secara aktual tampak bahwa Aisyah adalah gadis muda, bukan bayi yang baru lahir
ketika pewahyuan Al-Qamar. Jariyah berarti gadis muda yang masih suka bermain (Lane's Arabic English Lexicon).

Jadi, Aisyah, telah menjadi jariyah bukan sibyah (bayi), jadi telah berusia 6-13 tahun pada saat turunnya surah Al-Qamar, dan oleh karena itu sudah pasti berusia 14-21 tahun ketika dinikah Nabi.

KESIMPULAN: Riwayat ini juga mengkontra riwayat pernikahan Aisyah yang berusia 9 tahun.

Bukti #7: Terminologi bahasa Arab

Menurut riwayat dari Ahmad ibn Hanbal, sesudah meninggalnya isteri pertama Rasulullah, Khadijah, Khaulah datang kepada Nabi dan menasehati Nabi untuk menikah lagi, Nabi bertanya kepadanya tentang pilihan yang ada di pikiran Khaulah. Khaulah berkata: "Anda dapat menikahi seorang gadis (bikr) atau seorang wanita yang pernah menikah (thayyib)". Ketika Nabi bertanya tentang identitas gadis tersebut (bikr), Khaulah menyebutkan nama Aisyah.

Bagi orang yang paham bahasa Arab akan segera melihat bahwa kata bikr dalam bahasa Arab tidak digunakan untuk gadis belia berusia 9 tahun.

Kata yang tepat untuk gadis belia yang masih suka bermain-main adalah, seperti dinyatakan dimuka, adalah jariyah. Bikr disisi lain, digunakan untuk seorang wanita yang belum menikah serta belum punya pertautan pengalaman dengan pernikahan, sebagaimana kita pahami dalam bahasa Inggris "virgin". Oleh karena itu, tampak jelas bahwa gadis belia 9 tahun bukanlah "wanita" (bikr) (Musnad Ahmad ibn Hanbal, Vol. 6, p. .210,Arabic, Dar Ihya al-turath
al-`arabi, Beirut).

Kesimpulan: Arti literal dari kata, bikr (gadis), dalam hadist diatas adalah "wanita dewasa yang belum punya pengalaman sexual dalam pernikahan." Oleh karena itu, Aisyah adalah seorang wanita dewasa pada waktu menikahnya.

Bukti #8. Text Qur'an

Seluruh muslim setuju bahwa Quran adalah buku petunjuk. Jadi, kita perlu mencari petunjuk dari Qur'an untuk membersihkan kabut kebingungan yang diciptakan oleh para periwayat pada periode klasik Islam mengenai usia Aisyah dan pernikahannya. Apakah Quran mengijinkan atau melarang pernikahan dari gadis belia berusia 7 tahun?

Tak ada ayat yang secara eksplisit mengijinkan pernikahan seperti itu. Ada sebuah ayat, yang bagaimanapun, yang menuntun muslim dalam mendidik dan memperlakukan anak yatim. Petunjuk Qur'an mengenai perlakuan anak Yatim juga valid diaplikasikan ada anak kita sendiri sendiri.

Ayat tersebut mengatakan : Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik. (Qs. 4:5) Dan
ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin.

Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. ?? (Qs. 4:6)

Dalam hal seorang anak yang ditingal orang tuanya, Seorang muslim
diperintahkan untuk (a) memberi makan mereka, (b) memberi pakaian, (c) mendidik mereka, dan (d) menguji mereka thd kedewasaan "sampai usia menikah" sebelum mempercayakan mereka dalam pengelolaan keuangan.

Disini, ayat Qur'an menyatakan tentang butuhnya bukti yang teliti terhadap tingkat kedewasaan intelektual dan fisik melalui hasil test yang objektif sebelum memasuki usia nikah dan untuk mempercayakan pengelolaan harta-harta kepada mereka.

Dalam ayat yang sangat jelas diatas, tidak ada seorangpun dari muslim yang bertanggungjawab akan melakukan pengalihan pengelolaan keuangan pada seorang gadis belia berusia 7 tahun. Jika kita tidak bisa mempercayai gadis belia berusia 7 tahun dalam pengelolaan keuangan, Gadis tersebut secara tidak memenuhi syarat secara intelektual maupun fisik untuk menikah. Ibn Hambal (Musnad Ahmad ibn Hambal, vol.6, p. 33 and 99) menyatakan bahwa Aisyah yang berusia 9 tahun lebih tertarik untuk bermain dengan mainannya daripada mengambil tugas sebagai isteri.

Oleh karena itu sangatlah sulit untuk mempercayai, bahwa Abu Bakar,seorang tokoh muslim, akan menunangkan anaknya yang masih belia berusia 7 taun dengan Nabi yang berusia 50 tahun.. Sama
sulitnya untuk membayangkan bahwa Nabi menikahi seorang gadis belia berusia 7 tahun.

Sebuah tugas penting lain dalam menjaga anak adalah mendidiknya. Marilah kita memunculkan sebuah pertanyaan,"berapa banyak di antara kita yang percaya bahwa kita dapat mendidik anak kita dengan hasil memuaskan sebelum mereka mencapai usia 7 atau 9 tahun?" Jawabannya adalah Nol besar.

Logika kita berkata, adalah tidak mungkin tugas mendidik anak kita dengan memuaskan sebelum mereka mencapai usia 7 tahun, lalu bagaimana mana mungkin kita percaya bahwa Aisyah telah dididik secara sempurna pada usia 7 tahun seperti diklaim sebagai usia pernikahannya?

Abu Bakr merupakan seorang yang jauh lebih bijaksana dari kita semua, Jadi dia akan merasa dalam hatinya bahwa Aisyah masih seorang anak-anak yang belum secara sempurna sebagaimana dinyatakan Qur'an. Abu Bakar tidak akan menikahkan Aisyah kepada seorangpun. Jika sebuah proposal pernikahan dari gadis belia dan belum terdidik secara memuaskan datang kepada Nabi, Beliau
akan menolak dengan tegas karena itu menentang hukum-hukum Quran.

KESIMPULAN: Pernikahan Aisyah pada usia 7 tahun akan menentang hukum kedewasaan yang dinyatakan Quran. Oleh karena itu, Cerita pernikahan Aisyah gadis belia berusia 7 tahun adalah mitos semata.

Bukti #9: Ijin dalam pernikahan

Seorang wanita harus ditanya dan diminta persetujuan agar pernikahan yang dia lakukan menjadi syah (Mishakat al Masabiah, translation by James Robson, Vol. I, p. 665). Secara Islami, persetujuan yang kredible dari seorang wanita merupakan syarat dasar bagi kesyahan sebuah pernikahan.

Dengan mengembangkan kondisi logis ini, persetujuan yang diberikan oleh gadis belum dewasa berusia 7 tahun tidak dapat diautorisasi sebagai validitas sebuah pernikahan.

Adalah tidak terbayangkan bahwa Abu Bakr, seorang laki-laki yang cerdas, akan berpikir dan mananggapi secara keras tentang persetujuan pernikahan gadis 7 tahun (anaknya sendiri) dengan seorang laki-laki berusia 50 tahun.

Serupa dengan ini, Nabi tidak mungkin menerima persetujuan dari seorang gadis yang menurut hadith dari Muslim, masih suka bermain-main dengan bonekanya ketika berumah tangga dengan Rasulullah.

KESIMPULAN: Rasulullah tidak menikahi gadis berusia 7 tahun karena akan tidak memenuhi syarat dasar sebuah pernikahan islami tentang klausa persetujuan dari pihak isteri. Oleh karena itu, hanya ada satu kemungkinan Nabi menikahi Aisyah seorang wanita yang dewasa secara intelektual maupun fisik.

Summary:
Tidak ada tradisi Arab untuk menikahkan anak perempuan atau laki-laki yang berusia 9 tahun, Demikian juga tidak ada pernikahan Rasulullah SAW dan Aisyah ketika berusia 9 tahun. Orang-orang arab tidak pernah keberatan dengan pernikahan seperti ini, karena ini tak pernah terjadi sebagaimana isi beberapa riwayat.

Jelas nyata, riwayat pernikahan Aisyah pada usia 9 tahun oleh Hisham ibn `Urwah tidak bisa dianggap sebagai kebenaran, dan kontradisksi dengan riwayat-riwayat lain. Lebih jauh, tidak ada alasan yang nyata untuk menerima riwayat Hisham ibn `Urwah sebagai kebenaran ketika para pakar lain, termasuk Malik ibn Anas, melihat riwayat Hisham ibn `Urwah selama di Iraq adalah tidak reliable.

Pernyataan dari Tabari, Bukhari dan Muslim menunjukkan mereka kontradiksi satu sama lain mengenai usia menikah bagi Aisyah. Lebih jauh, beberapa pakar periwayat mengalami internal kontradiksi dengan riwayat-riwayatnya sendiri. Jadi, riwayat usia Aisyah 9 tahun ketika menikah adalah tidak reliable karena adanya kontradiksi yang nyata pada catatan klasik dari pakar sejarah Islam.

Oleh karena itu, tidak ada alasan absolut untuk menerima dan mempercayai usia Aisyah 9 tahun ketika menikah sebagai sebuah kebenaran disebabkan cukup banyak latar belakang untuk menolak riwayat tsb dan lebih layak disebut sebagai mitos semata. Lebih jauh, Qur'an menolak pernikahan gadis dan lelaki yang belum dewasa sebagaimana tidak layak membebankan kepada mereka tanggung jawab-tanggung jawab.

Note: The Ancient Myth Exposed
By T.O. Shanavas , di Michigan.
© 2001 Minaret
from The Minaret Source: http://www.iiie.net/

Diterjemahkan oleh : Cahyo Prihartono

Catatan :
Artikel ini merupakan hasil penyelidikan dan analisa yang tajam dan kritis, karenanya saya (Armansyah) memasukkannya kedalam salah satu koleksi pribadi disitus ini. Wassalam,

Sabtu, 11 Februari 2012

Fakta Pidato Soekarno

Vivere pericoloso, adalah sebuah ungkapan dalam bahasa Italia yang artinya kurang lebih adalah, "hidup secara berbahaya".
Di Indonesia, ungkapan ini dipopulerkan oleh Bung Karno pada tahun 1964 sebagai judul pidato kenegaraan pada peringatan HUT ke-19 RI: "Tahun Vivere Pericoloso" (disingkat TAVIP), kira-kira setahun sebelum terjadinya peristiwa G30S (Gestapu).
Ungkapan ini juga dipakai oleh surat kabar "Sinar Harapan" pada tahun 1970-an hingga 1980-an untuk rubrik pojok kritiknya.
Judul pidato Soekarno itu menginspirasi Christopher Koch, penulis Australia, untuk menulis novel yang terbit pada tahun 1978 di Australia, The Year of Living Dangerously, yang kemudian dijadikan film berjudul sama. Film produksi Australia buatan tahun 1982 ini dibintangi oleh artis-artis terkenal seperti Mel Gibson, Sigourney Weaver, dan Linda Hunt. Kisahnya dilatarbelakangi keadaan di Jakarta pada tahun 1965 menjelang dan saat terjadinya peristiwa G30S-PKI.

Kamis, 17 November 2011

Mencari Jodoh (Alm. KH Zainuddin MZ)


Assalamu’alaikum Wr. Wb
                Saudara-saudara kaum muslimin terutama adek-adek para remaja dan pemuda yang saya cintai. Apabila seseoranag akan membangun rumah, tentu saja dia akan mengadakan beberapa pilihan. Sejak dari memilih lokasi di mana rumah itu akan didirikan, sampai kepada menentukan bahan-bahan kualitas yang akan dipakainya, sampai kemudian kepada wujud dan bentuk rumah yang akan ditinggalinya. Demikianlah bahwa untuk membangun sebuah rumah, yang hanya untuk menaungi kehidupan di dunia ini kita mengadakan berbagai macam pilihan. Apalagi kalu kita akan membangun sebuah rumah tangga yang kita harapkan tidak hanya menaungi kehidupan di dunia ini, tidak hanya untuk kepentingan kita saja, tetapi juga untuk kepentingan anak cucu kita di belakang hari termasuk sampai kepada hari akhirat nanti. Oleh karena itu  pada pertemuan kali ini saya hanya ingin khusus berbicara kepada adek-adek remaja dan para pemuda bagaimana sebaiknya memilih jodoh menurut ajaran agama Islam. Dalam Al-Qur’an Allah SWT menjelaskan yang artinya “Bahwa manusia apapun jenisnya asal dia bernama manusia dihiasi dengan perasaan cinta kepada perempuan”, jadi sejak dahulunya secara fitrah laki-laki seneng kepada perempuan sebagaimana perempuanpun seneng kepada laki-laki. Dihiasi rasa cinta ini dalam kehidupan manusia. Dan oleh karena adanya rasa cinta berkembanglah segala macam persoalan. Sehingga seorang ahli cinta pernah berkata, cinta adalah 5 huruf yang membuat persoalan tidak akan pernah selesai, 5 huruf yang membuat persoalan tidak akan pernah selesai-selesai. Tetapi dalam kehidupan sehari-hari sering kita saksikan bahwa cinta ini bisa mendorong memberikan motivasi yang baik dan cinta inipun bisa juga memberikan dorongan yang tidak baik, oleh karenanya apabila cinta itu ibarat setetes embun yang jatuh di bumi yang subur akan tumbuhlah di atasnya aneka ragam bunga-bunga-an yang harum semerbak indah mewangi, sedap dipandang orang menebarkan rasa aman, damai, sentosa dan begitu selanjutnya, tapi jika cinta itu jatuh di hati yang gersang dan tandus tidak ada  yang akan dapat tumbuh di sana selain sirih memanjat batu, kuning daunnya, lemah gagangnya. Maka cinta yang semacam itu tidak akan memberikan dorongan positif kepada seseorang di dalam kehidupannya. Maka lebih dahulu kita akan membicarakan cinta dalam artian yang positif ini untuk nanti sampai kepada perempuan yang bagaimana yang harus kita cintai  atau laki-laki yang bagaimana yang harus  dicintai oleh seorang perempuan.
Saudara hadirin yang saya hormati cinta dalam artian yang positif, pertama dia selalu mendatangkan  keindahan, yang kedua cinta itu memberikan energi atau semangat untuk berjuang dan yang ketiga cinta itu selalu membawa resiko dalam bentuk pengorbanan. Maka cinta yang positif pertama  melahirkan keindahan, di sinilah orang memerlukan filter atau saringan sebab keindahan yang di dasarkan karena cinta itu merupakan suatu keindahan yang relative saja.  Boleh jadi karena indah orang jadi cinta, boleh juga jadi karena cinta segala sesuatu terasa  jadi indah. Namun bagaimanapun juga kalau hati sudah diliputi oleh rasa cinta segalanya akan terasa menjadi indah, cinta itu adalah keindahan. Yang kedua cinta itu energi melahirkan dorongan dan semangat, yang lemah bisa menjadi kuat, yang takut bisa menjadi berani, yang jauh jadi terasa dekat, itu semua karena dorongan cinta. Dan dari energi ini lahirlah yang ketiga bahwa cinta adalah pengorbanan, sehingga orang berkata berani bercinta artinya harus berani berkorban, takut berkorban jangan bercinta. Kalau cinta ini kita salurkan kepada nilai-nilai agama umpamanya yang pertama cinta mendatangkan keindahan kita cinta kepada agama maka apapun yang diperintahkan oleh agama akan terasa menjadi indah. Solat akan terasa menjadi indah, puasa terasa menjadi indah, zakat terasa menjadi indah, jihadpun akan terasa menjadi indah, persis kalau kita cinta kepada seorang gadis. Jika kita cinta kepada seorang gadis, apanya saja akan keliatan menjadi indah, jalannya terasa indah, lenggak-lenggoknya terasa indah, suaranya merdu padahal cemprengnya bukan main. Seluruhnya akan mendatangkan keindahan karena dasarnya sudah cinta. Cinta  membawa kepada keindahan. Yang kedua, cinta itu melahirkan energi orang yang cinta kepada agama akan lahir tenaga dan semangatnya melaksanakan ibadah, melaksanakan puasa, melaksanakan zakat, melaksanakan solat, melaksanakan haji bahkan melaksanakan jihad sekalipun. Cinta selamanya menimbulkan energi dan semangat. Sama saja dengan kita apabila jatuh cinta kepada seorang gadis, walaupun rumahnya jauh katanya, gunungpun akan kudaki lautan kusebrangi. Untuk apa itu? Untuk menemui apa yang kita cintai. Cinta selamanya melahirkan energi, cape tidak terasa, lelah tidak terasa, semuanya tertutup oleh keindahan yang bernama cinta. Lalu yang ketiga cinta membawa pengorbanan, apabila kita cinta kepada agama maka pengorbanan terhadap apapun yang diminta oleh agama, baik itu pengorbanan waktu, tenaga, pikiran, harta bahkan pengorbanan nyawa sekalipun kita tidak akan berat melaksanakannya karena cinta kita kepada agama yang kita anut ini. Demikian juga cinta kita kepada seorang perempuan, akan membuat kita rela berkorban, apapun yang dia minta, jangankan kita mampu, kita tidak mampu sekalipun kita pasti berusaha untuk mampu guna memenuhi tuntutan si buah hati belahan jantung. Kadang-kadang malam minggu si do’i ngajak nonton, umpamanya. Duit tidak ada, gajian belum,  kerja enggak. Timbullah inisiatif entah sepatu kita jual ke tukang loak, entah celana mampir dulu ke tempat lain, yang penting kita berkorban untuk memenuhi permintaan si buah hati belahan jantung. Ketika itu pengorbanan sudah tidak kita rasakan lagi. Bahkan pengorbanan yang paling pedih sekalipun, dalam gurau dalam bercanda misalnya dicubit kita oleh kekasih kita, pedih bukan main, terkelupas kulit, mengalir darah, bukan nangis, nyengir. Malah kadang-kadang minta ditambah dicubit lagi. Itulah romantikanya cinta sanggup membuat orang berkorban, melahirkan energi dan semangat menambah keindahan dalam kehidupan sepanjang dia dalam artian yang positif.
Kalau demikian masalahnya di dunia yang penuh dengan perbenturan nilai sekarang ini orang sering salah jalan bagaimana memilih jodoh untuk membangun rumah tangga yang bahagia. Jangan lupa bahwa membangun rumah tangga ini bukan hanya untuk satu-dua bulan, bukan hanya untuk satu-dua taun, bahkan bukan cuma untuk kehidupan dunia lebih daripada itupun untuk menunjang kebahagiaan di akhirat. Oleh karenanya memilih jodoh bukan suatu hal yang mudah, bukan suatu hal yang bisa dilaksanakan sambil lalu, tetapi memerlukan penelitian, memerlukan pengamatan yang mendalam. Apa petunjuk agama tentang itu dengan kata lain bagaimana seharusnya seseorang memilih jodoh dalam kehidupannya. Ini tentu saja sumbangan moril buat adek-adek remaja dan para pemuda yang lagi kebingungan memilih jodoh atau barangkali buat bapa-bapa yang kepengen nambah lagi. Mohon ma’af kepada ibu-ibu saya tidak menganjurkan cuma ngajarin.
Yang pertama, menurut Nabi nikahilah perempuan itu karena rupanya, karena hartanya, karena keturunannya dan karena agamanya. Ada 4 motif utama  di sini, pertama memilih jodoh liatlah rupanya, lagian siapa yang kepengen dapet jodoh rupanya gak karu-karu-an. Cari rupa yang cantik, indah dan menawan namun jangan lupa saya katakana di zaman di mana sering terjadi perbenturan nilai seperti sekarang ini orang sulit untuk mendapat keaslian. Di mana teknologi sudah sedemikian canggih, di mana ilmu kedokteran sudah sedemikian maju. Maka berbagai macam rupa dapat dibentuk dengan apa yang dinamakan operasi plastik. Oleh karena itu kalau pilihan hanya tertuju kepada rupa yang cantik saja semata-mata kita sudah melakukan suatu kesalahan yang sangat besar. Sebab apa diperingatkan oleh Nabi melalui hadits Ibnu Majah, Bazar dan Baihaki dari Ibnu Umar, “Janganlah kamu kawini seorang perempuan karena kecantikannya, sebab kecantikan boleh jadi akan mencelakakan, jangan juga kamu kawini perempuan karena hartanya sebab kekayaan biasanya akan mendatangkan kesombongan, tetapi kawinilah karena agama dan akhlaknya karena itulah yang akan membawa kepada kebahagiaan”

Selasa, 08 November 2011

Pidato Untuk Malaysia dari SangProklamator



Kalau kita lapar itu biasa
Kalau kita malu itu juga biasa
Namun kalau kita lapar atau malu itu karena Malaysia, kurang ajar!

Kerahkan pasukan ke Kalimantan hajar cecunguk Malayan itu!
Pukul dan sikat jangan sampai tanah dan udara kita diinjak-injak oleh Malaysian keparat itu.

Doakan aku, aku kan berangkat ke medan juang sebagai patriot Bangsa, sebagai martir Bangsa dan sebagai peluru Bangsa yang tak mau diinjak-injak harga dirinya.

Serukan serukan ke seluruh pelosok negeri bahwa kita akan bersatu untuk melawan kehinaan ini kita akan membalas perlakuan ini dan kita tunjukkan bahwa kita masih memiliki gigi yang kuat dan kita juga masih memiliki martabat.

Yoo... ayoo... kita... Ganjang...
Ganjang... Malaysia...
Ganjang... Malaysia
Bulatkan tekad
Semangat kita badja
Peluru kita banjak
Njawa kita banjak
Bila perlu satoe-satoe!


Menyikapi pidato Bung Karno, Malaysia pun murka. Mereka mendemo Kedubes RI di Kualalumpur dan merobek-robek foto Soekarno. Bahkan, demonstran juga sempat membawa lambang burung garuda kepada Tunku Abdul Rahman dan meminta agar dia menginjaknya.

Namun, polemik tersebut mereda setelah posisi Soekarno digantikan Soeharto. Pada 28 Mei 1966, Indonesia dan Malaysia pun sepakat untuk berdamai, dan penandatanganan perdamaian dilakukan pada 11 Agustus.

Jumat, 04 November 2011

CERAMAH MENGINGAT MATI

 Hidup hanyalah tempat persinggahan sementara. Adapun kematian,sesungguhnya merupakan awal kehidupan manusia yang kekal danabadi. Nabi Saw bersabda:
“Aku dan dunia bagaikan seseorang yang tengah mengadakanperjalanan di suatu hari yang panas, lalu berteduh sejenak di bawahrindangnya sebuah pohon, lantas pergi meninggalkan pohon itu untukmelanjutkan kembali perjalanan panjang”. (HR. Ibnu Mâjah danAhmad).Allahpun berfirman:
“Kehidupan di dunia ini bagaikan permainan dan senda gurau belaka.Sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yangbertakwa. Apakah kamu tidak berpikir?” (QS. Al-Anâm [6]: 32)Begitu jelas makna hadis dan ayat tadi. Logikanya, kalau kehidupan inibukanlah tujuan akhir, melainkan hanya persinggahan sementarauntuk sebuah perjalanan yang sangat panjang dan melelahkan, makabekal apakah yang seharusnya kita siapkan untuk sebuah perjalananyamg maha panjang tersebut? Di antara hal yang dapat memotivasidiri kita untuk mempersiapkan bekal tersebut dengan sebaik-baiknyaadalah memperbanyak mengingat mati.Nabi MUHAMMAD Saw bersabda:"Perbanyakkanlah mengingati mati, niscaya kalian akan dapatmenyepelekan kelezatan dunia”. (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah). Kalaulah kita bersedia untuk selalu mengejar harta, pangkat dan jabatan yang hanya sementara, bahkan belum tentu semua itu dapatkita rasakan, mengapa kita tidak bersedia untuk mempersiapkan dirikita kepada hal yang sudah pasti akan kita rasakan. BukankahSakaratulmaut adalah sebuah ungkapan untuk menggambarkan rasasakit yang menyerang inti jiwa manusia dan menjalar ke seluruhbagian tubuh, sehingga tak satu pun bagian badan yang terbebas darirasa sakit itu. Malapetaka paling dahsyat di kehidupan paripurnamanusia ini, memberi rasa sakit yang berbeda-beda pada setiaporang, tergantung amal dan ibadahnya.Untuk menggambarkan rasa itu, pernah Rasulullah S.A.W berkata: “Kematian yang paling mudah adalah serupa dengan sebatang duriyang menancap di selembar kain sutera. Lantas Nabi bertanya, apakahduri itu dapat terambil begitu saja tanpa membawa bagian sutera yangkoyak?” Pada kesempatan lain Nabi Saw bersabda: “Sakitnya sama dengantiga ratus tusukan pedang.” Diriwayatkan, ketika ruh Nabi Ibrahim as akan dicabut, Allah SWTbertanya kepada Ibrahim: “Bagaimana engkau merasakan kematianwahai khalilullah (khalilullah berarti sahabat Allah)?“ Beliau menjawab, “Seperti sebuah pengait yang dimasukkan ke dalam gumpalan bulubasah yang kemudian ditarik.”“Yang seperti itulah, sudah Kamiringankan atas dirimu,” kata Allah Swt.Umar bin Abdul Aziz rahimahullah suatu hari menasehati para
sahabatnya, beliau berkata: Jika kalian melewati kuburan, lihatlah...betapa sempitnya rumah-rumah mereka sekarang.-Tanyakan kepada orang-orang kaya mereka, masih tersisakah hartamereka?-Tanyakan pula kepada orang-orang miskin di antara mereka, masihtersisakah kemiskinan mereka?-Tanyakan tentang lisan yang dengannya mereka berbicara, sepasangmata yang dengannya mereka melihat indahnya pemandangan?.-Tanyakan pula tentang kulit-kulit nan lembut dan wajah-wajah cantik jelita, tubuh-tubuh yang halus-mulus, apa yang diperbuat oleh ulat-ulat di balik kain kafan mereka? Lisan-lisan itu telah hancur, wajah-wajah cantik jelita itu telah dimakan ulat, anggota badan mereka telahterpisah-pisah berserakan.-Lalu di mana pelayan-pelayan mereka yang setia?-Di mana tumpukan harta dan sederetan pangkat mereka?-Di mana rumah-rumah gedong mereka yang banyak dan menjulangtinggi?-Di mana kebun-kebun mereka yang rindang dan subur?-Di mana pakaian-pakaian mereka yang indah dan mahal?-Di mana kendaraan-kendaraan mewah kesukaan mereka?-Bukankah mereka kini berada di tempat yang sangat sunyi?-Bukankah siang dan malam bagi mereka sama saja?-Bukankah mereka berada dalam kegelapan?-Mereka telah terputus dengan amal mereka. Mereka telah berpisahdengan orang-orang yang sangat mereka cintai, dengan harta yangmereka puja-puja, dengan gaya hidup yang mereka banggakan.Orang-orang yang mereka cintai tidak mau ikut bersamanya, hartayang mereka tinggalkan malah akan menjadi beban jika digunakanbukan di jalan yang Allah ridhai. Ketika itu, yang masih bermanfaat hanyalah tiga: shadaqah jariah, ilmu yang bermanfaat, dan anaknyayang shaleh yang mendo’akan dirinya.” Demikianlah nasehat dariUmar bin Abdul Aziz.Sebab Siksa KuburMa’aasyiral muslimin rahimakumullah....Disebutkan oleh Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziah rahimahullah ta’ala,bahwa siksa kubur itu ditimpakan karena berbagai macam dosa danmaksiat, di antaranya adalah:1. Adu domba dan menggunjing.2. Tidak bersuci (cebok) setelah buang air kecil.3. Shalat dalam keadaan tidak suci (kotor).4. Berdusta.5. Lalai dan malas dalam mengerjakan shalat.6. Tidak mengeluarkan zakat.7. Berzina.8. Mencuri.9. Berkhianat.10. Menfitnah sesama umat Islam.11. Makan riba.12. Tidak menolong orang yang dizhalimi.13. Minum khamar (kalau jaman sekarang seperti: minum sempain,ngeplay, ngegele, sabu-sabu, ekstasy dan sejenisnya).14. Memanjangkan kain hingga di bawah mata kaki (menyombongkandiri).15. Membunuh.16. Mencaci sahabat Nabi.17. Mati dalam keadaan membawa bid'ah.
           Kemudian Ibnu Qayyim rahimahullah menyebutkan beberapa ketaatanyang bisa menyelamatkan kita dari siksa kubur, di antaranya adalah:Yang pertama, Rajin beribadah dan taat kepada Allah Swt denganikhlas.2. Mati syahid di jalan-Nya.3. Membaca surat Al-Mulk.4. Meninggal karena sakit, dan terakhir:5. Meninggal dunia pada hari Jum'at.Husnulkhotimah, adalah sebuah karunia Allah SWT yang khususdiberikan kepada manusia istimewa. Tidak ada ceritanya dalam hidupini istilah “muda foya-foya, tua kaya raya, dan mati masuk surga”.Husnul khotimah itu seperti hadiah untuk manusia, atas upayamanusia yang sungguh-sungguh di dalam menjalankan tugas hidup didunia ini. “Seperti mahasiswa yang belajar mati-matian, lalu lulusdengan predikat summa cum laude.” Jadi kita jangan pernah berpikir bagaimana supaya kita bisamendapatkan Husnulkhotimah terlebih dulu, tanpa amal nyata. “Kata-kata mati, harusnya mampu kita hadirkan dalam hati kita setiap hari,” Sabda Rasulullah yang menyatakan, bahwa dengan sering-seringmengingat mati menjadikan seseorang menjadi makhluk yangproduktif, cermat, dan selektif, adalah benar adanya. Ini karena setiappekerjaan yang dilakukannya dianggap sebagai pekerjaan terakhirnya.Karena maut bisa datang kapan dan di mana saja.